Total Pageviews

Thursday, February 24, 2011

Tips Bila Mobil Anda Mogok Diterjang Banjir

Bila mobil terkena banjir ringan:- Periksa kondisi bearing roda
- Periksa kondisi sistem rem
- Periksa kerja sistem ABS
- Periksa kondisi tie rod dan ball joint
Banjir sedang:- Periksa kondisi oli mesin dan transmisi, jika tercampur air, ganti dengan yang baru
- Buka knalpot dan saringan udara, jika ada air bersihkan dan keringkan
- Pastikan mesin dapat berputar dengan cara memutar pully dengan kunci
- Periksa silinder dengan membuka busi, jika ada air bersihkan dengan cara start engine dengan kondisi busi terbuka semua
- Periksa kelengkapan kelistrikan mesin, seperti starter, alternator, dan ECU. Jika terdapat air, bersihkan dan keringkan

Banjir berat:- Periksa komponen-komponen sesuai pada kategori kebanjiran ringan dan sedang, serta periksa komponen yang berada dalam kabin.
- Periksa semua ECU, combination meter, tape, relay, dan fuse, serta semua konektor yang ada di dalam kabin. Pastika semua terbebas dari air, kemudian bersihkan dan keringkan menggunakan blower atau hair dryer.- Bawa mobil ke bengkel agar mendapatkan pemeriksaan lanjutan

Tuesday, February 15, 2011

Injeksi Tinja Obati Sakit Pencernaan Kronis

sakit perut
VIVAnews - Mungkin Anda sudah sering mendengar pengobatan alternatif menggunakan terapi urin atau darah. Tapi, bagaimana dengan terapi pengobatan menggunakan tinja?
Sebuah penelitian yang terbit di Journal of Clinical Gastroenterology mengungkap metode injeksi tinja atau 'transpoosions' untuk menyembuhkan gangguan pencernaan kronis akibat infeksi bakteri clostridium difficile.
"Pengobatan tersebut sangat efisien, dengan tingkat kesembuhan 90 persen untuk penggunaan pertama kali. Hasilnya aman, tanpa efek samping, dan dapat memecahkan masalah dalam hitungan jam," kata Dr Lawrence Brandt dari Montefiore Medical Center, di New York, seperti dimuat Aol Health.
Brandt mengatakan, injeksi tinja bisa dilakukan melalui enema, prosedur pemasukan zat ke dalam kolon melalui anus. Bisa juga melalui pipa lambung, berupa selang yang dimasukkan ke lambung lewat hidung.
Selama ini, pasien terinfeksi bakteri clostridium difficile mengandalkan suntikan antibiotik sebagai pengobatan. Clostridium difficile merupakan jenis bakteri yang sulit dimatikan dibandingkan jenis lain seperti C botulinum, dan C perfringens. Infeksi bakteri Clostridium biasanya ditandai diare.
Karakter Clostridium difficile yang sulit mati membuat racikan antibiotik menjadi mahal. Di Amerika Serikat, antibiotik pembunuh Clostridium difficile mencapai US$60 atau sekitar Rp870 ribu per butir. Sekali pengobatan bisa mencapai US$2.000 hampir Rp19 juta.
Meski mahal, suntikan antibiotik belum tentu mempan membunuh bakteri. Bahkan, tak jarang menyebabkan diare kronis. "Tingkat kegagalan antibiotik 10-20 persen dengan peluang kambuh 60 persen," ujarnya.
Itulah mengapa Brandt begitu bersemangat mengembangkan pengobatan alternatif menggunakan injeksi tinja. Selain lebih murah, metode injeksi tinja tidak memiliki efek suntikan antibiotik yang dapat mengancam kekacauan metabolisme tubuh.
Brandt mengatakan, injeksi tinja bisa didapat melalui donor tinja yang telah melalui uji laboratorium. "Ada beberapa bank donor di Australia, tapi di Amerika Serikat, kami menggunakan tinja segar dari donor," katanya. "Kami memisahkan pendonor yang mengidap AIDS, sifilis, hepatitis, patogen dan parasit lainnya."
Meski klaim keberhasilan pengobatan ini mencapai 90 persen, banyak dokter enggan beralih ke 'antibiotik' alami tersebut. "Sulit membayangkan pengobatan menggunakan kotoran. Saya khawatir, penggunaan tinja sebagai antibiotik berpotensi mencipta masalah baru pada pasien, seperti infeksi silang," kata Dr Saad Habba, seorang ahli penyakit lambung asal New Jersey.

Wednesday, February 9, 2011

Monkasel (The Submarine Monument)


The sub marine monument is located in the bank of Kalimas River, on the east corner of Surabaya Plaza. A real Russian submarine in the Indonesia's Navy Armada (1952). There are also a lot of facilities around the submarine like Swarga Park, Water Tour, Stage, Monument videorama, Restaurant, Art Shop etc.

Kawah Ijen (Ijen Crater)


Kawah Ijen is the world's largest highly acidic lake and is the site of a labor-intensive sulfur mining operation in which sulfur-laden baskets are hand-carried from the crater floor. Coffee plantations cover much of the Ijen caldera floor, and tourists are drawn to its waterfalls, hot springs, and dramatic volcanic scenery.

Bromo Mountain


Mount Bromo scenery is the main tourist attration in Pasuruan Regency and East Java. From Penanjakan visitors can see beautiful scenery of Mount Bromo. Batok and Semeru in behind the mountains famous sand sea and we can witness the spectacular sunrises.

Kediri Tourism


Kediri as one of East Java regency has known by many people and tourists, because it has many interesting tourism objects. Kediri is interesting regency that able to invite both domestics and foreign tourists to visit its beautiful tourism objects. This area is surrounded by mountain and has a lot of nature scenery, so that it makes its air cold and fresh. This regency also save historical value and common said has the old kingdom in Java Island.

The nature lovers are common visit this regency, because Kediri has the famous mount that is Mount Kelud. This is volcano mount, but its charming scenery has attracts the tourists to visit this mount. It has the channel to the crater, sulfuric lake, cool plantation, etc.

Beside Mount Kelud, the other Kediri’s nature scenery is Irrenggolo and Dolo Waterfall that also give the pine forest scenery. There are also the historical tourism objects such as; Surowono Temple, Tegowangi Temple, and the famous Sri Aji Joyoboyo Graveyard. Those are the original building of Kediri culture since years ago. The other interesting places in Kediri are Ubalan Park and Bendungan Gerak (move dam).
The government of Kediri regency always tries to develop Kediri tourism in order to known by a lot of people and add the income. Kediri has improved its tourism facilities to make the tourists as comfortable as well.

Welcome to Kediri Tourism, we hope that the tourists can enjoy the beautiful of tourism objects, traditional art, and historic tourism objects.

Introducing Ubud

Perched on the gentle slopes leading up towards the central mountains, Ubud is the other half of Bali’s tourism duopoly. Unlike South Bali, however, Ubud’s focus remains on the remarkable Balinese culture in its myriad forms.
Advertisement
It’s not surprising that many people come to Ubud for a day or two and end up staying longer, drawn in by the rich culture and many activities. Besides the very popular dance-and-music shows, there are numerous courses on offer that allow you to become fully immersed in Balinese culture.
Sensory pursuits are amply catered to with some of the best food on the island. From fabled world-class resorts to surprisingly comfortable little family-run inns, there is a fine choice of hotels. Many places come complete with their own spas, for hours or days of pampering packages.
Around Ubud are temples, ancient sites and whole villages producing handicrafts (albeit mostly for visitors). Although the growth of Ubud has engulfed several neighbouring villages, leading to an urban sprawl, parts of the surrounding countryside remain unspoiled, with lush rice paddies and towering coconut trees. You’d be remiss if you didn’t walk one or more of the dozens of paths during your stay

Introducing Bali


Advertisement
Bali may be small in size – you can drive around the entire coast in one long day – but its prominence as a destination is huge, and rightfully so. Ask travellers what Bali means to them and you’ll get as many answers as there are flowers on a frangipani tree. Virescent rice terraces, pulse-pounding surf, enchanting temple ceremonies, mesmerising dance performances and ribbons of beaches are just some of the images people cherish.
Small obviously doesn’t mean limited. The manic whirl of Kuta segues into the luxury of Seminyak. The artistic swirl of Ubud is a counterpoint to misty treks amid the volcanoes. Mellow beach towns like Amed, Lovina and Pemuteran can be found right round the coast and just offshore is the laid-back idyll of Nusa Lembongan.
As you stumble upon the exquisite little offerings left all over the island that materialise as if by magic, you’ll see that the tiny tapestry of colours and textures is a metaphor for Bali itself.
And those are just some of the more obvious qualities. A visit to Bali means that you are in the most visitor-friendly island of Indonesia. There are pleasures of the body, whether a massage on the beach or a hedonistic interlude in a sybaritic spa. Shopping that will put ‘extra bag’ at the top of your list. Food and drink ranging from the freshest local cuisine bursting with the flavours of the markets to food from around the globe, often prepared by chefs and served in restaurants that are world class. From a cold Bintang at sunset to an epic night clubbing in Kuta, your social whirl is limited only by your own fortitude.

Diving in Bali

Diving in Bali Bali is one of the most beautiful islands of Indonesia. It is not only culturally rich and physically a beautiful land, but it has also a marvelous underwater surrounding the island. Please browse below for diving packages in Bali, including PADI Dive Certification, Certified / Non Certified Diving Packages and Divng Spots in Bali.

Raja Laut Luxury Cruises

Raja Laut Cruises
Remote Beach  Personal Service  Diving and Snorkeling  Space & Privacy  Thailand Sail
Raja Laut is a classic gaff rigged schooner designed for private yacht charter. Over 100ft in length, Raja Laut can accommodate 12 guests in 6 spacious and beautifully appointed cabins with ensuite bathrooms, hot showers and air-conditioning. She has an interior dining area full of classic charm and a spacious saloon for relaxing. Above deck there are also areas designed for relaxation and dining whilst you enjoy the magnificent natural cruising grounds of Southeast Asia.
The Vessels
Raja Laut private yacht charters are supported by an experienced skipper, with a crew of 6 including a dive instructor and our top class chef. Raja Laut's luscious wooden surroundings are complemented by satellite communication systems and Television and DVD. She has 8 sets of diving equipment, two sea kayaks, a pair of water skis, a wake board, a 4.7 meter rib with 60HP and two surf boards. Time and time again the Raja Laut and her journeys offer the discerning traveler an experience to savour!
For those with a craving for SCUBA Raja Laut comes fully equipped with her own compressor, dive gear and divemaster, whilst kayaks, water skis and surfboards provide plenty of fun above the water.

Raja Laut Deckplan

Raja Laut Deckplan
Open Dining on the Deck Area
Open Dining on the Deck Area
Lounge
Air Conditioned Lounge with friedge,
TV set and Internet Connection
Double Cabin
Double Cabin
Twin Cabin
Twin Cabin
Dining Area
Air Conditioned Dining Area
Dive Center

"Sea Safari" Cruise

Sea Safari Cruise

Cruises During 2011

Each of the 12 double/twin cabins (see deck plan Sea Safari III, deck plan Sea Safari V and deck plan Sea Safari VI) has its own shower and toilet and its own air-conditioner, and there is a crew of 15 to take care of the passengers' needs.
You can book 7-day and 8-day cruises on the "Sea Safari" during all parts of the year, and you have a wide choice of destinations. There are visits to the Lesser Sunda Islands east of Bali where you can swim and snorkel at pristine beaches or explore villages where women still weave the traditional ikat cloth. And you can visit the island of Komodo, famous for its dragons who only here survived from the Jurassic age.
At other times the "Sea Safari" sails through the exotic Moluccas, a sun drenched group of islands that once drew explorers and traders from all parts of the world in search of precious cargoes of nutmeg and cloves. Historic Dutch and Portuguese forts evoke the shadows of the past – equally impressive are today's vibrant local cultures and magical beliefs that still play an important role in everyday life.
In the Lesser Sunda Island as well as in the Moluccas you'll also find coral reefs that are amazing both in their colour and in the variety of life they sustain. Therefore, these cruises offer new experiences and unforgettable impressions for every traveller to Asia.

bali island

Adventure cruises from Bali, Indonesia. See pre-historic komodo dragons from the Jurassic age and ancient tribes and cultures of Indonesia in the Lesser Sunda Islands. Bargains fares and discounts.

Pinisi at Secluded Beach Pinisi Sea Safari Ship Sundeck Ocean Wave Helicopter Charter

Bali Cruises – Visit Prehistoric "Komodo Dragons"
the last Survivors from the Dinosaur Age.
Discover Ancient Tribes and Cultures of Indonesia.

These cruises and sea safaris offer a convenient way for visitors to Bali to enrich their experience of Asia and catch a glimpse of pre-historic times by taking a journey into regions of Indonesia little known to the rest of the world.
You can do all this either in just a few days on a scheduled cruise or, more leisurely, on board of a chartered Bugis "Pinisi" schooner – and without any of the hardships often connected with visiting remote areas. There are regular departures from Bali throughout the year, and the fares fit all budgets.

Monday, February 7, 2011

Blogger Buzz: Blogger integrates with Amazon Associates

Blogger Buzz: Blogger integrates with Amazon Associates

rumus fisika usaha

W = F x S
dimana ; W = usaha (newton/m) F = gaya (newton) S = jarak (meter)

F = m x a
dimana ; a = percepatan m = massa
S = v0 + 1/2 a x t
dimana ; v0 = kcepatan awal t = waktu

rumus periode getaran plus frekuensi getaran

Periode Getaran

\!T=\frac{t}{n}

Dengan ketentuan:
  • \!T = Periode (sekon)
  • \!t = Waktu (sekon)
  • \!n = Jumlah getaran

Frekuensi Getaran




Dengan ketentuan:
  • \!f = Frekuensi (Hz)
  • \!n = Jumlah getaran
  • \!t = Waktu (sekon)

[sunting] Periode Getaran

\!T=\frac{1}{f}

Dengan ketentuan:
  • \!T = periode getaran (sekon)
  • \!f = frekuensi (Hz)

Hubungan antara Periode dan Frekuensi Getaran

Terdapat 2 rumus, yaitu:
  • \!T=\frac{1}{f}

Dengan ketentuan:
  • \!T = periode (sekon)
  • \!f = frekuensi (Hz)

contoh skripsi psikologi

MAKNA HIDUP PADA PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sekarang ini keberadaan wanita tuna susila atau sering disebut PSK merupakan fenomena yang tidak asing lagi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akan tetapi keberadaan tersebut ternyata masih menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pertanyaan apakah Pekerja Seks Komersial (PSK) termasuk kaum yang tersingkirkan atau kaum yang terhina, hal tersebut mungkin sampai sekarang belum ada jawaban yang dirasa dapat mengakomodasi konsep pekerja seks komersial itu sendiri. Hal ini sebagaian besar disebabkan karena mereka tidak dapat menanggung biaya hidup yang sekarang ini semuanya serba mahal.
Prostitusi di sini bukanlah semata-mata merupakan gejala pelanggaran moral tetapi merupakan suatu kegiatan perdagangan. Kegiatan prostitusi ini berlangsung cukup lama, hal ini mungkin di sebabkan karena dalam prakteknya kegiatan tersebut berlangsung karena banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual tersebut oleh sebab itu semakin banyak pula tingkat penawaran yang di tawarkan.
Di negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Pekerja Seks Komersial. Ini artinya bahwa para perempuan itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang mempekerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas. Kita akan mengetahui bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks adalah suatu kegiatan yang melibatkan tidak hanya si perempuan yang memberikan pelayanan seksual dengan menerima imbalan berupa uang. Tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak. Jaringan perdangan ini juga membentang dalam wilayah yang luas, yang kadang-kadang tidak hanya di dalam satu negara tetapi beberapa negara.
Oleh sebab itu perlu diakui bahwa eksploitasi seksual, pelacuran dan perdagangan manusia semuanya adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan dan karenanya merupakan pelanggaran martabat perempuan dan juga merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Jumlah perempuan pekerja seks meningkat secara dramatis di seluruh dunia karena sejumlah alasan ekonomis, sosial dan kultural.
Dalam kasus-kasus tertentu perempuan yang terlibat telah mengalami kekerasan patologis atau kejahatan seksual sejak masa anak. Lain-lainnya terjeremus ke dalam pelacuran guna mendapat nafkah yang mencukupi untuk diri sendiri atau keluarganya. Beberapa mencari sosok ayah atau relasi cinta dengan seorang pria. Lain-lainnya mencoba melunasi utang yang tak masuk akal. Beberapa meninggalkan keadaan kemiskinan di negeri asalnya, dalam kepercayaan bahwa pekerjaan yang ditawarkan akan mengubah hidup mereka. Jelaslah bahwa eksploitasi perempuan yang meresapi seluruh dunia adalah konsekuensi dari banyak sistem yang tidak adil. Banyak perempuan yang berperan sebagai pekerja seks dalam dunia pertama datang dari dunia kedua, ketiga dan keempat. Di Indonesia dan di tempat lain banyak dari mereka diperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan jumlah pelanggan yang meningkat. (Yangcheng Evening News, 15 Desember 2003 diambil dari http://www.kompas.co.id/).
“Sebaiknya tidak perlu ada hukum yang melarang aktivitas prostitusi karena akan ada seseorang dipersalahkan karena aktivitas tersebut. Dan ini menjadi tidak adil dalam konteks di mana prostitusi adalah pelibatan dua orang lawan jenis untuk sebuah kesenangan seksual.” (Dr Li Yinhe, sosiolog dan peneliti bidang perilaku seksual dari Cina, ketika ia menyampaikan ceramah berjudul A Criticism of Laws Governing Sexual Behavior in Contemporary China dalam simposium di He Xiangning Art Gallery, Shenzhen, Cina, bulan Desember 2003 lalu (Yangcheng Evening News, 15 Desember 2003 diambil dari http://www.kompas.co.id/).
Pandangan Dr Li itu mungkin dapat menimbulkan kontroversi apabila dilontarkan di Indonesia karena masyarakat kita pasti menolak pandangan seperti itu. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan, sekalipun praktik prostitusi secara hukum dan agama dilarang di Indonesia, kegiatan prostitusi bawah tanah tetap saja marak di kota-kota besar di Indonesia. Walaupun di Indonesia tidak ada undang-undang yang melarang praktek prostitusi, ada beberapa peraturan perundangan dan regulasi pemerintah yang menyentuh aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama, atau lebih populer disebut seks komersial. Sejumlah pemerintah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang pendirian lokalisasi. Dengan dasar hukum ini, aktivitas seksual atas dasar kesepakatan bersama di antara dua orang atau lebih dalam sebuah tempat yang bersifat pribadi atau “dipersiapkan” dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Definisi ini sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Ketentuan yang didasarkan pada definisi ini seharusnya sudah dieliminasi. Berdasarkan prinsip universal tentang hak asasi manusia, sebenarnya setiap orang dewasa memiliki hak melakukan apa saja yang dianggap “menyenangkan” bagi badan mereka.
Untuk yang pertama kalinya terjadi, seorang kepala dinas tenaga kerja mengkritisi sebutan pekerja seks komersial bagi para pelacur. Ini diungkapkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Sukabumi Drs. H. Karmas Supermas, M.M. Karmas merasa keberatan dengan istilah pekerja seks komersial karena mengandung sebuah konsekuensi yang berat dilihat dari kacamata ketenagakerjaan. Pasalnya, di satu sisi wanita yang berprofesi sebagai pelacur disebut “pekerja”, tetapi di sisi lain “pekerja” itu tidak pernah mendapat perlindungan, bahkan selalu diobrak-abrik. Menurut Karmas, selama ini persoalan PSK belum dipandang secara komprehensif, menyeluruh, dan sistematik, terutama dalam penanganannya. Bahkan, sangat ironis dan dilematis, terutama antara persoalan yang ada dengan sistem penanganannya. “Kalau kita cermati istilah pekerja seks, di satu sisi disebut sebagai pekerja. Tetapi, di sisi lain dilarang melakukan pekerjaan tersebut,” jelas Karmas. Lebih jauh Karmas mengajak masyarakat sekitar untuk bersama-sama mencermati keterkaitan antara pekerja seks, ketenagakerjaan, gender, moralitas bangsa, dan hak asasi manusia dari sudut ketenagakerjaan, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003. Pengertian pekerja atau buruh, jelas Karmas, yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Namun, bukan untuk orang-orang yang berprofesi sebagai pelacur atau pekerja seks komersial. Kata “pekerja” sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui pemerintah. “Seks, tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks komersial itu ditujukan bagi para wanita tuna susila atau pelacur. Istilah pekrja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut,” kata Karmas. Oleh karena itu, Karmas mengusulkan kepada pemerintah atau siapa pun orang yang pertama kali mengganti istilah pelacur dengan WTS agar tidak menggunakan lagi istilah pekerja seks karena tidak menutup kemungkinan akan menjadi preseden buruk di kalangan pekerja “asli” atau buruh yang ada di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan merusak citra pekerja pada umumnya. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial merupakan suatu hal yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK dipandang sebagai mahluk yang menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan menjadi bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka.
Pandangan masyarakat ini hanya dikhususkan kepada para perempuan pekerja seks komersial yang menjalani pekerjaan ini karena murni akibat tekanan ekonomi. Kesan pertama akan perempuan pekerja seks ini adalah para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu, penggoda lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa masyarakat bisa memiliki kesan seperti itu, karena sejak kecil ditanamkan oleh orang-orang tua bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur, adalah perempuan yang tidak benar kelakuannya. Apalagi digambarkan para pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya glamour tetapi norak. Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri duyung, yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak wangi itu adalah para pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahun-tahun bahwa PSK itu memang perempuan jalang. (6 Maret 2007 dari http://www.pikiran rakyat.com/)
Kemudian jika melihat sendiri kehidupan nyata bahwa banyak dari para pekerja seks itu terpaksa menjalani pekerjaannya sebagai PSK karena tekanan ekonomi. Ada yang memang datang dari keluarga yang miskin, ada yang ditelantarkan suaminya sementara anak-anaknya harus tetap makan, ada yang untuk membiayai pengobatan orang tuanya, ada juga yang terpaksa disetujui suaminya karena benar-benar hidup amat miskin. Senada seperti pengakuan beberapa PSK, bahwa sebenarnya jika mereka boleh memilih, mereka tidak ingin jadi PSK, tetapi apa daya, mereka tidak punya kepandaian atau keterampilan.
Seharusnya kita tidak boleh merendahkan para PSK karena mereka juga bekerja, menjual jasa dan mereka dibayar untuk jasa mereka. Kita bisa merasa iba jika mendengar kabar para PSK ditangkapi petugas ketertiban. Atau disiksa pelanggannya, atau dijahati germonya. Sebetulnya para PSK akan selalu ada karena pemakai jasa mereka juga selalu ada. Meskipun banyak yang tidak menyetujui pilihan pekerjaan mereka, tetapi kita mulai bisa menghormati bahkan kagum pada para perempuan pekerja seks komersial, karena setidaknya mereka itu tetap merupakan pahlawan bagi keluarganya. Dengan demikian saya asumsikan bahwa mereka yang bekerja sebagai PSK seharusnya tidak mendapatkan asumsi-asumsi buruk mengenai diri mereka, padahal mereka rela mengorbankan kesucianya demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Tidak adanya dukungan sosial ini menyebabkan para PSK membentuk kelompok sendiri, yang selanjutnya makin menjauhkan diri mereka dari masyarakat umum seperti masuk ke dalam suatu lokalisasi (wadah tempat prostitusi berlanjut). Penolakan atau sikap negatif masyarakat serta label-label yang dilekatkan masyarakat pada PSK dapat menimbulkan efek Self-Fulfilling Phrophecy, Akibatnya komunitas PSK yang mengalami penurunan identitas ini, makin menarik diri dan mengalami berbagai hambatan dalam penyesuaian sosial dan pengembangan diri. Jadi dapat dikatakan bahwa sikap masyarakat ini justru dapat menimbulkan masalah psikologis yang baru bagi kaum wanita tuna susila. Dari sinilah kita mendapatkan suatu gambaran baru bagaimana PSK hidup dibawah tekanan (pressure) dari lingkungan sekitarnya baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Serta harus menerima berbagai macam stereotype negatif yang dialamatkan pada pelacur selama ini dan belum tentu kesemua yang ditujukan tersebut benar adanya. (2 November 2006 dari http://www.mirifica.com)
PSK yang secara sadar maupun tidak sadar, langsung maupun tidak langsung ingin juga diakui sebagai layaknya manusia pada umumnya, sehingga dapat dikatakan mempunyai kebutuhan dasar serta keinginan mereka dengan manusia lain pada umumnya. Sebagaimana manusia pasti memiliki suatu keinginan untuk hidup bahagia. Meraih kebahagian merupakan tujuan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri lagi, sehingga segala apa yang dilakukan manusia pada akhirnya hanyalah untuk membuatnya hidup bahagia.
Manusia dalam mencari tujuan hidup, mempunyai suatu kebutuhan yang bersifat unik, spesifik, dan personal, yaitu suatu kebutuhan akan makna hidup. Frankl mengartikan makna hidup sebagai kesadaran akan adanya suatu kesempatan atau kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas atau menyadari apa yang bisa dilakukan pada situasi tertentu (Frankl, 2004 : 221). Apabila seseorang berhasil makna hidupnya, maka kehidupannya dirasakan penting dan berharga, dengan demikian akan menimbulkan penghayatan bahagia (Bastaman, 2000 : 73). Makna hidup berfungsi sebagai pedoman terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, sehingga dengan demikian makna hidup seakan-akan menantang (Challengging) dan mengundang (Inviting) seseorang untuk memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan menjadi terarah. Makna hidup bersifat spesifik dan unik, makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri (Bastaman, 2000 : 73).
Permasalahan PSK tidak ubahnya sama dengan manusia pada umumnya, secara garis besar PSK tentunya juga mempunyai suatu Makna Hidup. Sama halnya dengan manusia atau individu lainnya. Proses penemuan makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang PSK, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang kesemuannya itu tak lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta kendala apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai Makna Hidup
Oleh karena hal inilah, penelitian yang sifatnya lebih mendalam tentang Makna Hidup seorang PSK sangat diperlukan untuk memperkaya teori dan memberikan tambahan pengetahuan. Dalam permasalahan ini, usaha yang dilakukan adalah penelitian tentang Makna Hidup PSK. Penelitian ini lebih berangkat dari fenomena yang unik dimana mereka selama ini sadar akan pandangan negatif yang diperolehnya dari lingkungan sekitar, tetapi mereka tetap dapat mempertahankan apa yang mereka percayai, dan mereka yakini serta hayati dan menjalankan kesemuanya itu dengan penuh keyakinan tanpa terpengaruh pendapat ataupun opini-opini dari orang-orang yang memandang negatif terhadap dirinya.
1.2 Identifikasi Masalah
PSK sama halnya dengan manusia lainnya, dimana mereka mempunyai keinginan untuk meraih arti hidup dan hal itu tercermin dalam Makna Hidup. Seperti merasakan kebahagiaan disayang atau diperhatikan orang lain, serta menyayangi orang lain, dihargai seperti orang lain pada umumnya, diberikan kesempatan yang sama dalam mencapai kesejahteraan di bidang ekonomi adalah hal yang menjadikan seorang PSK secara sadar maupun tidak sadar menemukan Makna Hidup bagi dirinya. Proses penemuan Makna Hidup adalah suatu perjalanan yang tidak mudah bagi siapapun terlebih pada diri sorang PSK. Perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang kesemuannya itu tak lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan, serta kendala apa saja yang dihadapi PSK dalam mencapai Makna Hidup.
1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang, penelitian membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut:
a. Peneliti ingin mengungkap bagaimana makna hidup pada pekerja seks komersial (PSK). Dalam hal ini karena peneliti sering melihat fenomena yang sering terjadi pada kehidupan dan nantinya akan melihat makna hidup bagi seorang PSK, hal apa saja yang diinginkan oleh mereka dalam menjalani kehidupan serta kendala apa saja yang dihadapi dalam pencapaian Makna Hidup tersebut
b. Sehubungan dengan subyektifitas terhadap makna hidup, maka penelitian ini nantinya akan melihat makna hidup bagi seorang PSK pada rentang usia dewasa awal, hal apa saja yang diinginkan oleh mereka dalam menjalani kehidupan setelah menginjak usia dewasa awal, sehingga dapat mempermudah pengkategorian subyek kedalam penelitian.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah :
- Bagaimana makna hidup bagi seorang PSK pada rentang usia dewasa awal?
1.5 Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah diatas, maka secara umum tujuan dari penelitian ini adalah :
- Mengetahui apa makna hidup bagi seorang Pekerja Seks Komersial pada rentang usia dewasa awal.
1.6 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan memperkaya teori mengenai Makna Hidup Pekerja Seks Komersial pada rentang usia dewasa awal. Dengan pengetahuan ini, diharapkan juga dapat meningkatkan segala hal yang berhubungan dengan Makna Pekerja Seks Komersial pada rentang usia dewasa awal.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberika perubahan yang lebih dalam pada masyarakat mengenai masalah makna hidup yang terjadi pada seorang pekerja seks komersial. Perubahan ini selanjutnya diharapkan dapat mengubah sikap masyarakat yang semata-mata memandang rendah seorang pekerja seks komersial (PSK). Dengan demikian diharapkan dari masyarakat untuk memikirkan langkah apa yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalaha prosstitusi yang terjadi selam ini.

contoh Skripsi Akuntansi

Analisis Pengaruh Pemberian Kredit terhadap Pendapatan Pedagang Kecil pada BPR. XYZ ABC Cabang A Kabupaten B

BAB I



PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan pembangunan disamping untuk meningkatkan pendapatan nasional sekaligus harus menjamin pembagian yang merata bagi seluruh rakyat. Hal ini bukan hanya dalam meningkatkan produksi saja tetapi juga untuk mencegah melebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan tujuan pembangunan di Indonesia.
Menurut Undang-undang No. 7/1992 menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Untuk memperlancar operasinya, bank mendirikan cabang didaerah-daerah dengan tujuan memberikan pelayanan jasa bank kepada masyarakat terutama pada golongan ekonomi lemah. Dengan adanya pemberian kredit tersebut dapat menguntungkan semua pihak diantaranya pemerintah yaitu tercapainya salah satu tujuan pembangunan nasional dalam bentuk kesejahteraan umum. Bagi bank, dengan adanya cabang tersebut akan memperbesar dan memperluas pemberian kredit khususnya kepada pedagang kecil. Bagi masyarakat, dengan adanya cabang bank tersebut akan lebih mudah mendapatkan pelayanan kredit.
Penyaluran kembali dana yang diperoleh kepada masyarakat antara lain melalui BPR BKK yaitu Badan Kredit Kecamatan yang dibuka di tingkat kacamatan. Adapun pengertian BKK menurut PERDA propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah No. 11 tahun 1981 pasal 3, yaitu BKK merupakan badan usaha daerah yang mempertanggungjawabkan pengelola dalam wilayah kabupaten atau kota masing-masing diserahkan kepada bupati/walikota.
Adapun prosedur permohonan kredit di BPR BKK adalah sederhana, dengan persyaratan-persyaratan yang ringan berupa suku bunga yang relatif kecil dibanding dengan suku bunga yang ada pada bank lain.
Pengawasan kredit BKK benar-benar bermanfaat, karena bukan semata-mata untuk mencari kesalahan atau menjatuhkan sanksi kepada debitur melainkan dititikberatkan pada pengarahan dan pembinaan, sehingga debitur dapat semakin maju dan berkembang serta meningkatkan perkembangan rentabilitas BPR BKK tersebut.
Dalam menjalankan operasionalnya PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati telah memanfaatkan potensi-potensi wilayah yang ada, dengan mengadakan pendekatan-pendekatan mengingat penyebaran penduduk di daerah Kedungjati yang tidak merata dan beraneka ragam latar belakang pekerjaannya sedangkan dalam penyaluran kreditnya PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati lebih banyak memberikan kredit kepada pedagang kecil yang kebanyakan berada di lokasi-lokasi pasar-pasar tradisional yang strategis.
Dari hasil penyebaran penduduk menurut pekerjaannya masih banyak peluang untuk memberikan kredit dalam rangka mengembangkan perekonomian khususnya di Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan dan meningkatkan pendapatan pedagang kecil.
Dari jumlah penduduk yang ada dengan mata pencahariannya yang berbeda – beda jika dibandingkan dengan penyaluran kredit yang diberikan oleh PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati masih sangat sedikit, jadi masih dimungkinkan penyaluran kredit bagi pedagang kecil di tambah expansinya baik nasabah maupun kredit yang diberikan.
Dengan melihat pentingnya kredit di tingkat kecamatan maka penulis ingin membahas perkreditan di tingkat kecamatan tersebut. Dan berdasarkan pertimbangan di atas penyusun memilih judul “ ANALISIS PENGARUH PEMBERIAN  KREDIT TERHADAP PENDAPATAN PEDAGANG KECIL PD. BPR BKK PURWODADI CABANG KEDUNGJATI KABUPATEN GROBOGAN “.
B.  Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka diajukan beberapa masalah dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.
1.   Seberapa besar pengaruh pemberian kredit pasaran ( X1 ) terhadap pendapatan pedagang kecil ( Y )?
2.   Seberapa besar pengaruh pemberian kredit mingguan ( X2 ) terhadap pendapatan pedagang kecil ( Y ) ?
3.   Seberapa besar pengaruh Pemberian kredit bulanan ( X3 ) terhadap pendapatan pedagang kecil ( Y ) ?
4.   Seberapa besar pengaruh pemberian kredit pasaran. kredit mingguan dan kredit bulanan terhadap pendapatan pedagang kecil ?
C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.   Tujuan
a.   Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian kredit pasaran terhadap pendapatan pedagang kecil
b.   Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian kredit mingguan terhadap pendapatan kecil
c.   Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian kredit bulanan terhadap pendapatan pedagang kecil
d.   Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian kredit pasaran, kredit mingguan dan kredit bulanan terhadap pendapatan pedagang kecil.
2.   Kegunaan Penelitian
a.   Bagi PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati dalam meningkatkan pelayanan bagi para nasabah.
b.   Bagi Pedagang Kecil
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para pedagang kecil dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui pinjaman kredit.
c.   Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membimbing dan membina lebih lanjut perkembangan PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati setempat.
d.   Bagi Pihak Lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan pertimbangan bagi peneliti lainnya di masa yang akan datang.
D.  Kerangka Pemikiran
Untuk dapat mengatahui arah dari penelitian yang diteliti, maka disini perlu adanya suatu kerangka pemikiran, sehingga dengan kerangka tersebut dapat mempermudah mengetahui isi dari penelitian. Adapun kerangka penelitian adalah sebagai berikut :


Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan :
1.   Variabel Independent meliputi Kredit Pasaran ( X1), Kredit Mingguan        ( X2) dan Kredit Bulanan ( X3)
2.   Variabel Dependent adalah pendapatan pedagang kecil ( Y )
E.   Definisi Operasional Terhadap Variabel Yang Digunakan
Untuk definisi operasional, disini ada tiga variabel independent dan satu variabel dependent. Untuk lebih jelas dalam pengukuran variabel tersebut maka dapat diuraikan sebagai berikut :
1.   Kredit Pasaran ( X1)
Kredit pasaran adalah kredit yang diberikan kepada nasabah dengan jangka waktu 12 pasaran dan diangsur dalam 5 hari sekali.
2.   Kredit Mingguan ( X2 )
Besarnya pinjaman yang diberikan oleh PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati yang besar – kecilnya ditentukan oleh Bank tersebut sesuai dengan permintaan pedagang tersebut, yang diukur dengan uang dan angsuran dalam jangka waktu 12 minggu dibayar 1 minggu sekali.
3.   Kredit Bulanan ( X3 )
Besarnya pinjaman yang diberikan oleh PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati yang besar – kecilnya ditentukan oleh Bank tersebut sesuai dengan perminataan pedagang tersebut, yang diukur dengan uang dan angsuran ditentukan dalam 1 bulan sekali dengan jangka waktu pinjaman selama satu tahun.
4.   Pendapatan Pedagang Kecil ( Y )
Yaitu pendapatan yang dihasilkan oleh pedagang tersebut dimana besar dan kecilnya tidak sama, tergantung dari hasil penjualan, yang diukur dengan uang untuk tahun 2005.
F.   Anggapan Dasar dan Hipotesis
1.   Anggapan Dasar
Adapun anggapan dasar dalam penelitian ini adalah :
a.   Kredit pasaran ( X1) mempunyai pengaruh terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
b.   Kredit Mingguan ( X2 ) mempunyai pengaruh terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
c.   Kredit Bulanan ( X3 ) mempunyai pengaruh terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
d.   Secara bersama – sama bahwa kredit pasaran ( X1), Kredit Mingguan   ( X2 ) dan Kredit Bulanan ( X3 ) mempunyai pengaruh dan hubungan yang positif terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
2.   Hipotesis
“ Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap pertanyaan yang dilakukan dalam perumusan masalah yang harus diuji atau dibuktikan kebenarannya melalui pengumpulan dan penganalisaan penelitian “.1)



Adapun hipotesis yang penulis kemukakan adalah sebagai berikut :
a.   Diduga bahwa kredit pasaran ( X1 ) mempunyai pengaruh dan hubungan positif terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
b.   Diduga bahwa kredit mingguan ( X2 ) mempunyai pengaruh dan hubungan positif terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
c.   Diduga bahwa kredit bulanan ( X3 ) mempunyai pengaruh dan hubungan positif terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
d.   Diduga secara bersama – sama bahwa kredit pasaran ( X1), Kredit Mingguan   ( X2 ) dan Kredit Bulanan ( X3 ) mempunyai pengaruh dan hubungan yang positif terhadap pendapatan pedagang kecil pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati.
G.  Metode Penelitian
1.   Ruang Lingkup Penelitian
Yang menjadi ruang lingkup penelitian pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati Kabupaten Grobogan mencakup pengaruh pemberian kredit terhadap peningkatan pendapatan pedegang kecil. Metode yang digunakan adalah studi kasus yang dilakukan pada PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati Kabupaten Grobogan.
2.   Jenis dan Sumber Data
a.   Jenis Data
1)   Data Primer
Data primer adalah data yang berisikan fakta – fakta atau keterangan yang secara langsung diperoleh melalui penelitian lapangan dari obyek yang diteliti, data ini kami peroleh melalui wawancara kepada pedagang kecil dan petugas BPR BKK, dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
2)   Data Sekunder
Data Sekunder adalah data sejumlah fakta atau keterangan yang diperoleh peneliti secara langsung maupun tidak langsung melalui bahan – bahan, keterangan – keterangan atau peraturan – peraturan perundang – undangan, arsip – asrsip, lembaga atau isntansi terkait dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang penulis teilti.
b.   Sumber Data
1)   Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber data yang secara langsung memberi keterangan, yang dalam hal ini nasabah PD. BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati Kabupaten Grobogan yang kami ambil sebanyak 30 responden.
2)   Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang secara tidak langsung memberi keterangan yang bersifat mendukung data primer. Adapun termasuk sumber data sekunder adalah bahan – bahan dokumen, literatur – literatur, peraturan – peraturan perundang – undangan, arsip – arsip yang berhubungan dengan penelitian.
3.   Tehnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data – data dalam penelitian ini penulis mempergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :
a.   Penelitian Lapangan
1)   Observasi Sistematik
Observasi ini merupakan pengumpulan data dimana peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap keadaan – keadaan yang sesungguhnya terjadi, dengan membawa scope observasi secara tegas sesuai dengan tujuan penelitian.
2)   Wawancara dan Interview
Wawancara dan interview merupakan pengumpulan data dengan jalan mengadakan Tanya jawab secara langsung dengan responden, wawancara yang penulis lakukan adalah dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan dengan kerangka atau pokok – pokok pertanyaan yang diajukan, dimana sebelum diajukan pertanyaan tersebut bersifat terbuka, artinya responden bebas mengemukakan jawaban asalkan sesuai dengan pertanyaan – pertanyaan dan permasalahan – permasalahan yang telah diajukan .
3)   Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan ini merupakan tehnik pengumpulan data dengan mengumpulkan, membaca dan mengkaji dokumen, buku – buku perpustakaan, peraturan – peraturan perundang – undangan dan bahan pustaka lainnya, baik yang di dapat di lokasi maupun di tempat lainnya.
b.   Metode Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pengambilan sampel dengan metode Conviniece Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan populasi yang mudah diakses untuk memperoleh informasi, dengan mengambil sampel nasabah / pedagang kecil yang berada di daerah penelitian yang mempunyai pinjaman pada PD.BPR BKK Purwodadi Cabang Kedungjati Kabupaten Grobogan.
Dalam hal ini penulis menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan, dengan mengambil sampel sebanyak 30 responden.
4.   Tehnik Analisis Data
Setelah data – data yang penulis peroleh melalui pengumpulan data sebagaimana diterangkan di atas, maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data yang selanjutnya diproses atau dikerjakan sehingga dapat menampilkan kebenaran yang dipakai untuk menjawab persoalan yang telah diajukan dalam penelitian.

contoh skripsi ekonomi manajemen

Analisis Hubungan Faktor-Faktor Motivasi Kerja terhadap Kepuasan Kerja Karyawan : Studi Kasus Karyawan RS XYZ di ABC

BAB I
PENDAHULUAN

  1. A. Latar Belakang Masalah
Penghujung abad keduapuluh ini seluruh dunia mengalami perubahan dalam berbagai segi kehidupan, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Di bidang politik, misalnya terjadi perubahan yang drastis dan fundamental, seperti berakhirnya perang dingin antara negara-negara adi kuasa dan runtuhnya rezim otoriter yang menganut ideologi komunisme di eropa timur. Di bidang ekonomi semakin banyak orang yang berbicara mengenai globalisasi perekonomian yang ditandai oleh interdependesi antara berbagai negara, baik antara negara-negara industri yang telah maju maupun antara negara-negara maju dan dunia ketiga. Di bidang kesehatan, misalnya semakin maraknya isu-isu kesehatan seperti flu burung, masalah penyakit folio yang merebak di Indonesia yang semakin hari semakin menjadi buah bibir, dan masalah kekurangan gizi yang dari tahun ke tahun menjadi masalah yang sangat memprihatinkan.
Usaha pemerintah dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, diantaranya adalah dengan menyediakan sarana-sarana untuk menunjang lancarnya kegiatan-kegiatan baik di bidang ekonomi, sosial budaya, kesehatan dan lain-lain. Dalam hal sarana kesehatan diusahakan dapat merata keseluruh pelosok desa. Contohnya puskesmas didirikan di setiap kecamatan, adanya balai-balai pengobatan dan kegiatan-kegiatan yang berpengaruh dibidang kesehatan yang ada di tiap-tiap desa. Tetapi sarana-sarana tersebut belum cukup untuk melayani kebutuhan kesehatan bagi masyarakat.
Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan (Adikoesoemo, 1995 : 11). Dalam rumah sakit terdiri dari beberapa unsur pendukung, antara lain dokter sebagai tenaga medis, paramedis, obat-obatan dan para karyawan sebagai pengelola rumah sakit. Rumah sakit adalah suatu perusahaan yang tidak bertujuan menghimpun laba namun memberikan pelayanan medis. Untuk itu rumah sakit memerlukan pengelolaan yang baik agar dalam melaksanakan fungsinya dapat efektif dan efisien.
RSO. Prof. DR. R. Soeharso yang letaknya berada di Surakarta yang merupakan salah satu rumah sakit milik pemerintah di Karesidenan Surakarta. RSO Prof. DR. R. Soeharso merupakan salah satu rumah sakit yang khusus menangani bedah tulang (patah tulang). RSO. Prof. DR. R. Soeharso memiliki banyak jenis pelayanan dan instalasi, namun dari berbagai jenis pelayanan dan instalasi tersebut jenis pelayanan utama yang terdapat di RSO Prof DR R Soeharso Surakarta adalah pelayanan rawat inap dan pelayanan instalasi bedah sentral yang memiliki aktivitas yang relatif kompleks dan rutin dibandingkan dengan pelayanan dan instalasi lainnya, sehingga pihak rumah sakit perlu membutuhkan karyawan yang memiki motivasi kerja yang tinggi.
Motivasi kerja erat kaitannya dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan respons seseorang terhadap berbagai macam situasi dalam lingkungan kerja, termasuk didalamnya respon terhadap komunikasi yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan. Komunikasi yang tidak terjalin secara baik antara pimpinan dengan karyawan dapat menjadi kendala dalam mewujudkan kepuasan kerja.
Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena besar manfaatnya bagi kepentingan individu, perusahaan dan masyarakat. Bagi individu, penelitian tentang sebab-sebab dan sumber-sumber kepuasan kerja memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagiaan mereka. Bagi perusahaan, penelitian mengenai kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha peningkatan kualitas produksi melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawan, selanjutnya masyarakat tentu akan menikmati hasil dari produk atau jasa perusahaan yang maksimal.
Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya dan sebaliknya.
Salah satu kepuasan sejati yang dapat diperoleh dalam lingkungan kerja adalah rasa bangga, puas dan keberhasilan dalam melakukan tugas pekerjaannya secara tuntas, biasa disebut dengan insting keahlian. Prestasi memberikan pada seseorang status sosial, respect dan pengakuan dari lingkungan masyarakat atau perusahaan (Kartini, 1985: 177).
Howell dan Dipboye memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya pekerja atau karyawan terhadap berbagai aspek dalam pekerjaannya. Kepuasan mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya (Ashar, 2001: 350)
Ada beberapa persoalan yang diindikasikan terkait dengan kepuasan kerja karyawan atau perawat RSO. Prof. DR. R. Soeharso Surakarta. Status karyawan kontrak yang tidak dikuatkan dengan SK menyebabkan kekhawatiran sebagian karyawan akan jaminan dari pihak rumah sakit. Persoalan lain yang ditengarai juga berkaitan dengan kepuasan kerja adalah perihal tunjangan, penghargaan dan hubungan dengan pimpinan serta rekan kerja. Tuntutan kerja terhadap kinerja karyawan dirasa tidak cukup sebanding dengan kompensasi yang diberikan rumah sakit.
Keluhan perawat atau karyawan akan kondisi pekerjaan dan belum adanya penghargaan atas hasil kerja kadang sebagai pemicu rendahnya motivasi kerja dari sekian banyak penyebab yang mengakibatkan rendahnya tingkat motivasi. Secara umum disebutkan apabila tenaga dan sarana (kuantitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standard of personels and fasilities), serta jika dana yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan maka sulitlah diharapkan baiknya mutu pelayanan (Bruce: Framberg dan Gambanc cit Azwar, 1994)
Penurunan motivasi kerja dapat terjadi karena kurang disiplin yang disebabkan oleh turunnya tingkat kepuasan karyawan tersebut. Untuk itu pimpinan rumah sakit harus memberikan suatu motivasi kepada karyawan sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan, motivasi dapat berupa pemenuhan kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman dan sebagainya. Dengan pemberian motivasi kerja akan tercermin rasa tanggung jawab, semangat kerja maka akan menciptakan keinginan untuk bekerja dan memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya.
Begitu pentingnya motivasi, maka pimpinan dituntut untuk peka terhadap kepentingan karyawannya. Disini pendekatan bukan hanya terhadap karyawan tetapi juga terhadap keluarga dan lingkungan. Sehingga pimpinan tahu apa yang menyebabkan karyawan termotivasi dalam bekerja. Jadi motivasi merupakan salah satu faktor penentu dalam mencapai kepuasan kerja.
Motivasi merupakan hal yang sangat diharapkan sebuah perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang diinginkan. Untuk itulah dalam kesempatan ini peneliti merasa tertarik mengambil penelitian dengan mengangkat judul: ANALISIS HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR MOTIVASI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN : STUDI KASUS KARYAWAN RSO PROF. DR. R SOEHARSO SURAKARTA
  1. B. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah:
  1. Keluhan perawat atau karyawan akan kondisi pekerjaan dan belum adanya penghargaan atas hasil kerja sebagai pemicu rendahnya motivasi kerja
  2. Kompensasi gaji yang diberikan oleh perusahaan yang dianggap oleh sebagian karyawan belum sesuai dengan tuntutan kerja yang dibebankan kepada karyawan
  3. Terdapat hambatan psikologis yang menjadi kendala terjalinnya komunikasi yang efektif antara karyawan dengan pimpinan.
  4. Pimpinan kurang aktif dalam memantau kepuasan kerja karyawan.
  5. Pimpinan kurang peka terhadap kepentingan karyawan atau perawat.
  6. C. Batasan Masalah
Pembatasan masalah kaitannya dengan penelitian ini terbatas dan fokus pada:
  1. Fokus pembahasan adalah karyawan atau perawat IBS (Instalansi Bedah Sentral), Anesthesi dan Ruang Sadar.
  2. Penelitian ini dilakukan di RSO Prof. Dr. R Soeharso Surakarta
  3. Banyak variabel yang mempengaruhi kepuasan kerja, dalam penelitian ini dibatasi pada variabel gaji, tunjangan dan lingkungan kerja.
  1. D. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan langkah yang sangat penting karena langkah ini menentukan kemana suatu penelitian diarahkan. Perumusan masalah pada hakekatnya merupakan perumusan pernyataan yang jawabannya akan dicari melalui penelitian.
Maka penulis merumuskan permasalahan ini sebagai berikut:
  1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara faktor motivasi kerja terhadap Kepuasan Kerja perawat IBS (Instalasi Bedah Sentral), Anesthesi dan Ruang Sadar di RSO Prof. Dr. R Soeharso Surakarta?
  2. Variabel yang mana lebih dominan antara variabel Gaji, Tunjangan, dan lingkungan kerja dengan variabel kepuasan kerja karyawan?
  1. E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah:
  1. Untuk mengidentifikasi ada tidaknya hubungan faktor-faktor motivasi terhadap kepuasan kerja karyawan.
  2. Untuk menganalisis tingkat hubungan antara faktor motivasi kerja dengan kepuasan kerja karyawan.
  1. F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
  1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan bagi rumah sakit untuk mengambil kebijaksanaan dalam rangka meningkatkan motivasi yang akhirnya akan menghasilkan kepuasan kerja karyawan
  1. Bagi Pengembangan Ilmu
a)      Sebagai tambahan wacana ekonomi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja.
b)      Sebagai referensi ilmiah yang dapat dipergunakan oleh pihak yang memerlukan untuk bahan pertimbangan
  1. G. Jadwal Penelitian
Tabel 1
Jadwal Penelitian
No Bulan Desember 2006 Januari 2007 Februari 2007 Maret 2007
Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan Proposal















2 Konsultasi DPS















3 Seminar Proposal















4 Revisi Proposal















5 Pengumpulan Data Sekunder















6 Wawancara















7 Processing Data















8 Penulisan Skripsi















9 Konsultasi ke Perusahaan















10 Pendaftaran Munaqosah















11 Munaqosah















12 Revisi Skripsi















13 Wisuda















  1. H. Sistematika Penulisan Penelitian
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah:
BAB I. PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, jadwal penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.
BAB II.     LANDASAN TEORI
Berisi tentang kajian teori, hasil penelitian yang relevan, dan kerangka berfikir.
BAB III.     METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi tentang waktu dan wilayah penelitian, metode penelitian, variabel-variabel, operasional variabel, populasi dan sampel, data dan sumber data dan alat analisis data.
BAB IV.    ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang Profil objek penelitian, pengujian dan hasil analisis data, pembuktian hipotesis, pembahasan hasil analisis, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan dalam perumusan masalah.
BAB V.     PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian dan saran – saran.

contoh skripsi hukum

Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana

BAB I
PENDAHULUAN

  1. A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum.  Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.[1] Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3) due process of law.
Dalam  Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden  secara langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan presidensiil murni[2]. Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak perlu lagi dipersoalkan mengenai pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, karena dalam pemerintahan presidensiil murni cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.
Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Namun seringkali, karena kuatnya otoritas yang dimilikinya,  timbul persoalan berkenaan dengan dinamika demokrasi[3]. Oleh karena itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA”. Hal ini bertujuan agar hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi bersifat mutlak.
Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun terakhir. Dengan kata lain soal pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan. Pada periode ini beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada peraturan perundang-undangan lainnya.
KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Kemudian pada tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk semua kejahatan[4]. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik. Karena pada saat diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.
Di dalam penjelasan ketika membentuk KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain: 1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih mengancam; 2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar; 3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan pada masyarakat; 4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai[5]. Namun apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu ditinjau kembali. Karena alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan perkembangan jaman.
KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati. Diantaranya Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional, dalam bentuk ‘pidana bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati  tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan dilakukan secara lebih selektif.
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati[6]. Padahal seperti  diketahui, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan[7]. Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh  penduduk muslim.
Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan[8].
Mereka yang pro-hukuman mati berpendapat:
(1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan;
(2)  pidana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan;
(3)  hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.
Mereka yang tidak setuju pidana mati berpendapat:
(1)  ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang telah menghapuskan hukuman mati;
(2)   hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan  sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati;
(3)  mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi,   martabat kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia[9].
Dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan instrumen-instrumen sebagai berikut:
(1)   Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai hak          untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;
(2)  Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas hak untuk hidup dan menyatakan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini  diadopsi pada 1966, dan berlaku (enter into force) sejak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat telah 151 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;
(3)   Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati. Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi;
(4)  Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si kawasan Eropa;
(5)   The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7 tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi instrument ini.[10]
Dengan segala pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia. Bila dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri. Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi,  dan peninjauan kembali. Selain itu, baik melalui dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
Mengenai kewenangan presiden meberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi. Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Selain grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Seperti tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR”.
Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.  Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Oleh karena  itu, Presiden dalam memberikan grasi harus  didasarkan  pada   teori  pemidanaan.
Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba[11]. Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto[12]. Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.
Pada tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat  Putusan No 310/Pid B/1997 PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Kemudian mereka langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Sedangkan permohonan Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari 2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan Kembali ini juga ditolak.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Dalam kasus ini hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup. Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak dapat diterima.
Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa  saja terjadi[13]. Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.
Berdasarkan paparan yang telah diuraikan di atas, maka penulis berinisiatif  untuk menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul  “EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”.

B.  Permasalahan
Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul di atas, maka  timbul permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu: Bagaimanakah eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana?
C.  Ruang Lingkup
Untuk  mendapatkan  gambaran yang  lebih  jelas   dan menyeluruh  mengenai
pembahasan skripsi ini, serta untuk menghindari agar pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan yang diangkat, maka untuk itu penulis perlu memberikan batasan ruang lingkup penulisan yaitu hanya mengenai masalah eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana.
  1. D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
  1. Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk:
Mengetahui eksistensi dan kedudukan grasi dalam perspektif hukum pidana secara umum.
  1. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, sebagai berikut:
    1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis, mahasiswa, pemerintah, maupun masyarakat umum mengenai grasi dan eksistensinya dalam perspektif hukum pidana. Dan menambah perbendaharaan atas kepustakaan hukum pidana.
    1. Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemerintah, pembentuk Undang-undang, serta masyarakat.

E.     Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian
Penulis dalam penulisan skripsi ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan yuridis normatif[14]. Yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan pada data kepustakaan atau data sekunder.
  1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berdasarkan pada data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumen, terutama bahan hukum yang berkaitan dengan grasi.
  1. Teknik Pengumpulan Data
Data didapatkan dengan menggunakan bahan hukum yang berkaitan dengan masalah grasi. Data yang diperoleh dari bahan hukum yaitu[15]:
  1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:
1)      KUHP;
2)      KUHAP;
3)      RKUHP;
4)      Amandemen UUD 1945;
5)      Undang- undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi;
6)      Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.
  1. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, doktrin,  yurisprudensi, dan azas-azas hukum.
  2. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari:
1)      Kamus Umum Bahasa Indonesia;
2)      Kamus Hukum;
3)      Buku literatur;
4)      Hasil-hasil penelitian;
5)      Hasil karya dari kalangan hukum;
6)      Majalah, koran, media cetak dan elektronik.
  1. Menganalisis Data
Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah data tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian telah disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan.